Bagaimana Iman Manusia diuji oleh Logika
Everything happens for a reason
Kamu mungkin sering memikirkan banyak hal yang mendasari kalimat-kalimat dengan tanda tanya besar di akhirnya. Sekilas hal yang kamu pikirkan itu seketika terjawab dengan cara yang tak pernah kamu duga setelahnya. Berbagai jawaban-jawaban yang sebetulnya memastikan kamu untuk mampu mencerna bentuk konsep dinamis dari apa yang kita harfiahkan sebagai takdir.
Pun dengan saya yang tak pernah berhenti mempertanyakan kenapa dan bagaimana terhadap jalan hidup manusia itu sendiri. Pertanyaan yang selalu mengakar pada bentuk pengujian logika sederhana tentang kepercayaan manusia pada jalan hidupnya, sebagai bagian dari iman kepada Tuhan serta apa-apa yang menjadi bagian ajaran dan ketentuan yang mengikat sepenuhnya.
Secara tidak disengaja, ataupun memang semua sudah menjadi designya, saya menemukan cuplikan video dari Ferry Irwandi, seorang influencer dengan konten-konten stoikismenya, menjelaskan tentang bagian dari Surah Al-Maidah. Ia menjelaskan bahwa kandungan ayat tersebut ‚katanya‘ mengubah cara berpikirnya. Isi surah tersebut kurang lebih begini „… Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.“
Interpretasi dari surah tersebut tentu dapat kita maknai menjadi berbagai macam argumentasi, yang bisa kita jadikan ‚pencerahan‘ tentang logika manusia yang kerap kali menginginkan jawaban yang tegas juga ‚logis‘. Mungkin dalam mencari jawaban ‚itu‘, menggunakan logika kita saja sebagai manusia tidaklah cukup. Meskipun manusia diciptakan Tuhan dengan sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Nyatanya, manusia itu sendiri punya keterbatasan.
Tafsir Tahlili menjelaskan tentang makna surah Al Maidah ayat 48 tersebut. Sekiranya Allah menghendaki, tentulah Dia dapat menjadikan semua manusia hanya dengan satu syariat dan satu macam jalan yang akan ditempuh dan diamalkan mereka sehingga dari zaman ke zaman tidak ada peningkatan dan kemajuan, seperti halnya burung atau lebah, kehendak Allah tentu akan terlaksana dan tidak ada kesulitan sedikit pun, karena Allah kuasa atas segala sesuatu. Tetapi yang demikian itu tidak dikehendaki oleh-Nya. Allah menghendaki manusia itu sebagai makhluk yang dapat mempergunakan akal dan pikirannya, dapat maju dan berkembang dari zaman ke zaman. Dari masa kanak-kanak ke masa remaja meningkat jadi dewasa dan seterusnya. Demikianlah Allah menghendaki dan memberikan kepada tiap-tiap umat syariat tersendiri, untuk menguji sampai di mana manusia itu dapat dan mampu melaksanakan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam kitab samawi-Nya, untuk diberi pahala atau disiksa. Oleh karena itu seharusnyalah manusia berlomba-lomba berbuat kebaikan dan amal saleh, sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi penutup rasul terakhir Muhammad saw. Syariat yang menggantikan syariat sebelumnya, untuk kepentingan dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak. Pada suatu waktu nanti, mau tak mau manusia akan kembali kepada Allah memenuhi panggilan-Nya ke alam barzah. Di sanalah nanti Allah akan memberitahukan segala sesuatu tentang hakikat yang diperselisihkan mereka. Orang yang benar-benar beriman akan diberi pahala, sedang orang-orang yang ingkar dan menolak kebenaran, serta menyeleweng tanpa alasan dan bukti, akan diazab dan dimasukkan ke dalam neraka.
Logika yang kita punyai itu dapat kita sinkronisasikan dengan meyakini ketetapan Tuhan, dan itu bisa menjadi tanda bahwa kita merupakan orang yang beriman. Artinya Tuhan telah merancang, mengatur dan menentukan jalan hidup manusia itu sendiri. Lantas kemudian kembali dengan pertanyaan yang seketika saya sendiri tanyakan saat mencerna frasa ini sebelumnya. „Untuk apa manusia beribadah, jika pada akhirnya kita tidak mengetahui dimana kita akan berakhir. Untuk apa rajin beribadah jika memang kita ditakdirkan ke neraka, pun sebaliknya.“ Terlepas dari pengetahuan saya yang masih dangkal ini, perlahan kembali jawaban itu datang dengan sendirinya. Dalam petikan surah lainnya menjelaskan bahwa “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”, Surah Az- Zariyat: 56.
Sebagaimana makna surah Al Maidah itu sendiri, kita tidak akan mengetahui arti ‚mengapa‘ itu di dunia ini. Yang perlu kita lakukan hanya beribadah dengan sebaik-baiknya. Hal menarik lain yang saya temukan adalah pertanyaan Einstein mengenai Tuhan. Ia berpikir bahwa „Does God play dice with the universe?” atau “Apakah Tuhan bermain dadu dengan alam semesta?”. Pertanyaan ini terkait dengan pandangan Einstein tentang mekanika kuantum, di mana ia mengekspresikan ketidaknyamanannya dengan elemen probabilistik dan ketidakpastian dalam teori tersebut. Einstein merasa bahwa hukum alam semesta seharusnya bersifat deterministik, yaitu dapat diprediksi dengan pasti jika kita mengetahui semua variabel yang terlibat. Maka, pertanyaan ini mencerminkan keyakinannya bahwa ada keteraturan dan hukum tetap yang mendasari alam semesta, bukan kebetulan murni.
Semua yang terjadi di dunia ini bukanlah sebuah kebetulan semata, melainkan ada yang sudah mengatur keterjalanan yang ada, dan disebut sebagai Tuhan. Namun, untuk memercayai keberadaan Tuhan ini, tidak hanya bisa dijelaskan oleh logika semata, dan mungkin saja manusia itu sendiri tidak akan mampu menjelaskannya. Memercayai Tuhan adalah bentuk keyakinan yang paling unggul pada konsep beragama itu sendiri. Kembali pada pertanyaan Einstein tentang bagaimana alam itu diciptakan dapat dijelaskan melalui ilmu pengetahuan, baik itu melalui teori Bigbang atau teori Nebula Matahari. Namun, pertanyaan Einstein tentang mengapa dunia itu diciptakan dapat diasumsikan secara pragmatis, tanpa kita mengetahui kepastian yang mutlak dari apa yang sudah Tuhan tentukan.
Kepercayaan terhadap Tuhan maupun Dewa merupakan bagian dari kompleksitas cara berpikir yang tidak selalu berkaitan dengan rasionalitas manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan peradaban manusia akan selalu mempertanyaan abstraksi terhadap Tuhan. Produk ketidakmampuan mencernanya makna semantis dan literal terhadap hal tersebut adalah ateisme dan agnostik yang didasari atas bentuk skeptisisme dari pengalaman pribadi setiap manusia.
Namun, sekali lagi, sayapun kembali mempertanyakan bahwa „Apakah Tuhan yang mengatur semua ini?“ tentang bagaimana manusia bisa skeptis, bagaimana banyaknya keberagamanan yang ada, bagaimana muncul sebuah dorongan untuk terjadinya dinamika yang mengundang terjadinya konflik atas perbedaan-perbedaan yang tersebar. Disitulah logika manusia memainkan peran yang sesungguhnya, untuk kemudian dapat „memilih” jalan yang seharusnya. Tetapi kita perlu berhati-hati, karena logika manusia itu bisa saja salah. Tuhan menciptakan konsep dasar manusia dengan nature atau fitrahnya. Fitrah ini sebetulnya tidak kita pelajari dimanapun, namun insting yang ada pada diri kita akan menuntun untuk kembali pada garis dan batasan itu.
Meskipun kita perlu memercayai sampai pada titik bahwasanya semua yang terjadi adalah ketetapan Tuhan, kita tidak boleh berhenti untuk bergerak memaknai makna yang ada. Kita perlu mencari tahu lebih jauh, untuk mengasah kemampuan berpikir dengan logika yang menjadi bagian dari anugerah Tuhan. Sehingga kita bisa tahu lebih banyak lagi pada hal-hal yang kita mesti lebih banyak kita ketahui.