Belajar dari seorang Ateis
Ateisme merupakan sebuah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Orang-orang dengan paham ini disebut sebagai ateis dan mereka tidak memercayai Tuhan itu ada. Kata ateis berakar dari dua kata, yakni “a” yang berarti tanpa atau tidak dan “teisme“ yang merupakan istilah Yunani, “theos” yaitu Tuhan. Istilah ini berbanding terbalik dengan kajian teologi, yaitu kajian yang berkaitan dengan pemahaman dan penyelidikan tentang keberadaan Tuhan, kepercayaan agama, dan hal-hal spiritual.
Sejarah dari ateisme tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemikiran manusia, perubahan sosial, dan evolusi kehidupan intelektual. Manusia yang dilahirkan dengan logika, mempertanyakan subtansi dari Tuhan itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak akan pernah bisa sampai untuk mengetahuinya. Semakin kita mempertanyakan Tuhan, logika kita semakin tidak akan pernah bisa memahaminya.
Kepercayaan ateisme ini sudah muncul dari zaman Mesopotamia kuno dengan tokoh-tokoh yang diketahui skeptis terhadap agama dan kepercayaan supernatural. Kemudian pada masa Yunani kuno, beberapa filsuf seperti Demokritos, Protagoras dan Eipucurus merupakan orang-orang yang menyatakan skeptisme terhadap keberadaan dewa. Pemikiran skeptis dan ateis berkembang selama periode Renaisans dan Pencerahan di Eropa dengan pemikir seperti Baron d’Holbach dan Denis Diderot. Kemudian di abad ke-19 hingga saat ini semakin banyak pemikir, penulis, hingga tokoh terkenal lainnya yang terbyka menyatakan keraguan atau ketidakpercayaan terhadap Tuhan, terutama semakin dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan metode ilmiah.
Perkembangan globalisasi dan mudahnya mengakses informasi melalui internet telah sangat memungkinkan penyebaran ide-ide ateisme di seluruh dunia. Beberapa negara, terutama di Eropa Utara, dikenal dengan tingkat sekularisme dan ateisme yang tinggi. Perkembangan ateisme dipengaruhi oleh perlbagai faktor-faktor sosial, politik, dan intelektual masyarakat.
Ateisme itu sendiri sangat jauh bertentangan dengan keyakinan dan logika saya sendiri. Beberapa kali saya pernah berdiskusi dengan orang ateis dan agnostik. Pandangan mereka sudah sangat jauh sekali terhadap ada atau tidaknya Tuhan. Pun saya sendiri sebenarnya selalu mempertanyakan apa itu Tuhan dengan rupa dan bagaimana kehadiran Tuhan itu. Namun, semakin saya berusaha berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, semakin saya kebingungan mencari padanan yang sesuai. Tetapi, jika iman adalah tentang meyakini, maka seorang ateis dan agnostik pun saya asumsikan mereka beriman. Beriman pada logika mereka adalah sama kedudukannya dengan meyakini ada hal-hal yang berada diluar pemikiran kita yang merupakan wujud dari sebuah kepercayaan, karena hakikat dari beragama itu adalah yakin.
Seorang ateis pernah berkata jika kita lebih baik mengerahkan kekuatan kita semaksimal mungkin untuk mencapai sesuatu, dibandingkan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Maka, di sana saya menyadari bahwa konteks beragama adalah berserah diri. Namun, seorang ateis akan menentang hal tersebut. Baginya berusaha dengan mengoptimalkan kekuatan diri adalah hal yang sebenar-benarnya.
Belajar dari seorang ateis dapat memberikan perspektif yang berbeda dan menarik. Ateis menegaskan, keberagaman pandangan dan keyakinan adalah bagian alami dari kehidupan manusia, dan saling memahami dapat menjadi pengalaman yang berharga. Bagian dari memahami tersebut merupakan pertanda lahirnya pemikiran yang liberal. Namun, hal menarik bagi saya dari seorang ateis adalah mereka mempunyai pemikiran yang kritis dan berpandangan luas serta mendorong individu untuk membentuk pandangannya sendiri. Meskipun sebenarnya hal yang mereka pahami bertentangan dengan kehidupan beragama.
Pada situasi lainnya, seorang teman menyinggung bahwa hakikat manusia itu adalah kebenaran dan manusia akan selalu kembali pada hal itu. Namun kita harus berhati-hati karena logika berpikir manusia yang kita miliki itu sendiri bisa salah. Kebenaran rasio berpikir tergantung dari banyaknya faktor yang memengaruhi cara berpikirnya dan tidak bisa dijadikan sebagai skala penilaian unsur kebenaran, tetapi yang paling penting untuk dipahamkan bahwa hukum agama adalah kedaulatan tertinggi yang mutlak adanya dan sudah tentu benar. Agama tidak pernah salah, tapi penganutnya bisa saja berbuat kesalahan, sebagai bagian dari mereka berpikir. Kebebasan berpikir itulah yang terkadang membuat kekeliruan, karena manusia terlalu mengkultuskan cara berpikir yang rumit dibandingkan menggunakan nalar tersebut untuk memaknai nilai.
Mengapa Tuhan menciptakan manusia, membuat aturan agama, mengatur segala sesuatunya terjadi dan menghendaki apa-apa yang Ia kehendaki. Secara sembarang kita dapat mengatakan bahwa Tuhan memerlukan manusia, untuk bisa menyembah dan mengagungkannya. Namun, logika berpikir kita itu tidak sesederhana itu. Nyatanya kitalah yang memerlukan Tuhan. Hukum law of attraction mengatakan pikiran manusia dapat menggerakan semesta untuk menghendakinya. Pikiran tersebut adalah bentuk bagaimana kita meyakini Tuhan untuk menghendaki apa yang kita ingin kehendaki.
Menjadi seorang ateis adalah pilihan individu tersendiri, namun di Indonesia sendiri menjadi ateis tidaklah dibenarkan. Konstitusi telah mengatur keberagaman agama beserta penganutnya, maka menjadi ateis di Indonesia merupakan suatu pelanggaran konstitusi. Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang menjadi ateis, salah satunya adalah bentuk rasa frustasi dan simbol kekecewaan terhadap Tuhan-Nya. Bentuk ekspresi tersebut kemudian tidak mereka validasi secara ril dan mereka mencari pembenaran dibalik rasa kecewa yang mereka miliki sehingga, banyak yang kemudian menjadi ateis. Selain itu, pengaruh perkembangan teknologi, memvalidasi pemikiran mereka untuk mengutarakan bentuk kebebasan itu.
Banyak hal yang dapat kita petik dari seorang ateis. Tentu bukan melihat bagaimana mereka mengembangkan kebebasan berpikir mereka, tetapi bagaimana mereka menggunakan logika mereka dalam menilai sebuah entitas. Namun, hal terpenting adalah sebagai seorang yang beragama, kita sudah semestinya tunduk pada aturan yang mengikatkan kita. Sudah menjadi kewajiban jika kita mempertanyakan agama itu sendiri, tetapi bukan mempertanyakan kebenaran agama, tetapi mempertanyakan bagaimana beragama dengan benar. Dan kita mesti berhati-hati, di zaman ini sudah terdapat banyak kekeliruan dan penyimpangan terhadap konteks beragama. Disitulah kita menggunakan akal sehat untuk berpikir.