Demokrasi, Kontestasi, Asumsi dan Interpretasi
“Kita semua punya harapan yang sama, siapapun yang kita pilih nantinya. Tujuan kita adalah mengembalikan kedaulatan tertinggi pada rakyat, bukan pada mereka yang berkepentingan.”
Menjelang hari pemilihan umum, tampak kondisi saat ini kian ‘memanas’ di tengah situasi. Banyak media massa yang memanfaatkan situasi ini untuk meraih rating dan meraup keuntungan yang signifikan dalam skala bisnis untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Masyarakat sudah sangat tahu betul bahwa media juga cenderung memiliki kepentingan dan tendensi keberpihakannya pada pasangan maupun partai politik, hal itu didasari karena media massa nasional tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi penguasa politik di partai-partai politik yang tengah berkontentasi pada pemilihan umum ini.
Pada tahun-tahun sebelumnya, media massa terbagi menjadi dua kubu yang saling menguntungkan salah satu calon presiden serta memberikan ‘informasi’ dalam versinya masing-masing. Penyebaran disinformasi ini akan menimbulkan berbagai asumsi dan interpretasi masyarakat, mulai dari pertanyaan akan apakah media itu netral hingga mosi tidak percaya pada pemerintahan dan sistem yang berjalan.
Pemilu tahun ini publik tidak lagi terbagi menjadi cebong dan kampret, tentu pertikaian semacam itu yang mensinyalir menimbulkan perpecahan-perpecahan di masyarakat yang dapat merusak nilai persatuan dan kesatuan nasional. Tetapi, dalam sebuah kontestasi politik, hal ini bisa saja terjadi untuk mencapai tujuan kemenangan dan memenangkan sebuah aja yang katanya disebut ‚pesta demokrasi‘. Dengan adanya tiga calon pasangan presiden membuat masyarakat menambah satu opsi pilihan dibandingkan dua pemilihan sebelumnya.
Media sosial adalah salah satu media yang dimanfaatkan untuk berkampanye, menyerang opini, berdebat, bahkan menyebarkan tudingan isu-isu negatif ditambah dengan bukti jejak digital, yang apabila kita telaah gambar atau video yang beredar itu tidak sedikit yang perlu dipertanyakan kebenarannya. Namun, situasi semacam ini yang memberikan ruang-ruang terbuka digunakan oleh para buzzer untuk menggaungkan disinformasi, fitnah dan ujaran negatif lainnya dengan alasan kebebasan ruang diskusi, kebebasan demokrasi, konten edukasi, hingga saling menyerang beserta kepentingan yang ‚menunggangi‘ mereka.
Ajang politik ini menurut saya syarat akan intrepretasi bahasa dan makna. Beberapa hal yang cukup terekam oleh saya diantaranya bagaimana yang dilakukan oleh Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan bagian dari koalisi Prabowo-Gibran mengganti kata ‘aamiin’ untuk dengan kata ‘qobul’. AHY enggan menyebutkan kata tersebut yang berkaitan dengan koalisi Anis-Muhaimin. Hal tersebut sangat menggelitik untuk saya, karena alasan politik hal yang sebenarnya baik justru dihindari dan digeneralisasi. Kemudian dalam sebuah khutbah, ketua partai PAN, Zulkifli Hasan, menyebutkan hal yang diindikasikan penyimpangan agama. Ia berucap bahwa para pendukung Prabowo Gibran dalam solatnya menggunakan dua jari dalam takhiyat akhirnya.
Dalam kesempatan lain, pada rangkaian kegiatan kampanye, salah satu tim sukses Anies-Cak Imin mengucap bahwa Anies adalah seseorang yang diutus malaikat Jibril, Anies merupakan wahyu dari malaikat Jibril. Tentu ini bukanlah hal-hal yang bijak dan tepat yang perlu diucapkan pada saat ajang pemilu seperti ini. Jelas hal itu adalah bentuk pelanggaran yang secara logika tidak masuk di akal.
Saya cukup jarang untuk menyuarakan pendapat terbuka terhadap hal-hal sensitif seperti ini. Selain karena keterbatasan saya dalam mengkaji wawasan berpolitik, saya juga memilih untuk menjadi skeptis. Namun tetap sadar akan kebaharuan yang terjadi. Saya hanya sedikit terheran tentang pemaknaan yang dilakukan oleh banyak orang di tengah kekacauan kondisi politik saat ini dan kemudian mengubah bentuk informasi yang tidak bisa kita bedakan kebenarannya.
Di media sosial saya sendiri, banyak teman-teman yang mengunggah postingan-postingan yang saya pikir mengundang bentuk provokatif terhadap pilihan presiden ini. Meskipun saya sadari bahwa di satu sisi itu adalah bagian dari ‘mengedukasi’, tetapi apakah perlu untuk kemudian kita mengunggah rekam jejak digital dari para masing-masing calon ini sebagai sebuah kehatian-hatian untuk tidak memilih salah satu paslon? Saya setuju dengan frasa-frasa ‘bijak dalam memilih’ dan atau ‘jangan sampai salah pilih’ dan narasai persuasif lain untuk memilih dengan memerhatikan siapa yang ada dibelakang paslon ini, baik itu partai politik, orang-orang yang berkepentingan, dan kelompok-kelompok tertentu yang ‘membiayai’ mereka-mereka ini.
Semua sisi objektif itu akan selalu kembali pada bentuk subjektifitas kita sebagai pemilih dan kecenderungan emosional meskipun tidak sedikit pula kita mengedepankan rasionalitas dalam memilih salah satu pasangan. Saya cukup prihatin dengan hal yang terjadi dan mengundang para akademisi yang untuk menyuarakan sikap tentang keberpihakan presiden dan pemerintah dengan pelanggaran-pelanggaran yang menguntungkan salah satu paslon. Hal itu kemudian dimanfaatkan dengan sangat mudahnya oleh para media, buzzer, dan ‚orang-orang yang peduli‘ untuk membuat narasi dengan interpretasi yang lebih luas ataupun bentuk narasi yang menyerang.
Bagaimana jika kemudian muncul narasi “siapapun presidennya, tidak akan berpengaruh terhadap rakyat kecil. Narasi itu sering dikaitkan dengan kedunguan ataupun mental dungu. Hasil dari pemilu ini akan sangat menentukan kehidupan rakyat setidaknya sampai lima tahun ke depan sebagaimana bagian dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun, saya sangat yakin dengan sepenuh hati; siapapun yang kita pilih masing-masing, itu adalah pilihan hati nurani kita. Harapan dan tujuan kita semua sama, yakni kesejahteraan rakyat dan mengembalikan kekuasaan dan kedaulatan tertinggi pada rakyat. Bukan pada elite-elite yang berkuasa dan hanya memikirkan kepentingan partai politik mereka. Kita semua adalah rakyat yang berharap akan kebaikan, memberikan arti pemerintahan yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan kepentingan rakyat semata. Dan apapun hasilnya nanti, semoga kita semua masih selalu terjaga dalam persatuan.
— Opini dari si yang suka nulis aja.