Diantara Mencari Kebenaran dan Pembenaran sebagai Makhluk Eksistensial
Untuk memulai sebuah tulisan yang menjadi tulisan pengawal di awal tahun ini, banyak hal yang sebenarnya telah dilewatkan. Melewatkan berbagai ide dan gagasan yang sebetulnya jika mulai dituangkan dapat menjadi sebuah ulasan menarik. Namun, tetap saja kecenderungan sifat malas adalah bagian dari yang tidak bisa dihindarkan dari sisi manusiawi. Atau mungkin saja hal itu bukanlah sebuah sifat malas. Malas hanya menjadi sebuah alasan dan pembenaran terhadap sisi tidak produktif yang menjadi dalih alamiah karena manusiawi semata. Menangkap situasi tersebut mengingatkan saya pada sebuah nilai pada individu manusia yang melakukan, merasa dan hidup. Subjek tersebut telah melampaui nilai manusia sebagai makhluk yang berpikir. Konsep tersebut yang setidaknya merupakan filosofis dari eksistensialisme.
Eksistensialisme merujuk pada kata dasar eksistensi yang memiliki arti keberadaan. Dalam arti tersebut keberadaan tidak hanya memperlihatkan entitas individu sebagai makhluk hidup, namun juga bagian dari alam semesta yang berbeda dibandingkan entitas lain karena diberikan akal dan kemampuan berpikir. Para filsuf eksistensialis menyebut bagian berpikir pada manusia ini menimbulkan sisi emosional seperti halnya kebingungan, ketakutan, kekhawatiran ataupun gejala lainnya terhadap apa-apa yang mereka hadapi. Bagian-bagian itulah yang menunjukkan eksistensi manusia dengan sifat manusia dan hakikatnya sebagai makhluk hidup. Dalam pengertian sederhana, eksistensialisme adalah bagian dari filsafat yang menunjukkan interpretasi atau eksistensi manusia dalam wujud konkret dan permasalahan yang dimilikinya.
Dengan kemampuan berpikir dan kemampuan merasa tersebut, seharusnya manusia hidup dalam sebuah nilai yang dianggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan sifatnya mengikat. Nilai dan norma dari aturan-aturan seperti agama, sosial, hukum dan alam adalah apa yang disebut sebagai kebenaran yang seharusnya dipatuhi manusia itu sendiri. Kebenaran itu merupakan nilai tertinggi dengan berikut dengan konsep autentisitasnya atau nilai-nilai yang sebenar-benarnya. Namun, makna itu sendiri bisa bergeser seiring dengan pemikiran manusia dengan eksistensialisnya, sehingga kebebasan individu adalah bagian yang paling terpenting dari semuanya.
Manusia sendiri diciptakan menjadi dua bagian, yakni lahir dan batin. Yang dimaksud lahir adalah tubuh atau raga fisik manusia yang menjadi tempat bernaungnya batin, jiwa ataupun roh yang dihidupkan. Mereka memiliki peranannya masing-masing sebagai sebuah kelompok yang seharusnya tunduk serta patuh kepada yang menghidupkannya. Sebut saja Tuhan. Dalam filsafat eksistensialisme ini terdapat konsep absurdisme yang mengandung makna bahwa tidak ada di dunia ini yang kita buat dengan sendirinya. Termasuk di dalam ketiadaan makna ini adalah amoratias atau ketidakadilan dunia. Konseptualisasi ini dipandang dalam kaitannya dengan perspektif agama samawi, Islam-Kristen-Yahudi, yang mengatakan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk mematuhi perintah Tuhan. Tentu saya di sini tidak membahas lebih jauh mengenai pandangan hidup ini, karena menjelaskan kepercayaan atau iman adalah rangkaian yang lebih panjang dari tulisan apapun dan tidak akan pernah menjumpai titik tersebut jika kita tidak memercayai konsepnya. Namun, sebagai makhluk hidup yang perlu belajar, kita harus mengetahui dengan setidaknya apa yang kita sebut hakikat. Agar kita tidak menyalahi pemaknaan yang sebenarnya.
Jika dalam konsep humanisme, manusia memiliki kedudukan tertinggi dalam banyak hal dan mengedepankan etika sebagai sesama makhluk tanpa memberlakukan adanya perbedaan. Nilai ini mengatur bahwa semua manusia itu sama, memiliki hak yang sama dan kebebasan yang sama, tanpa adnaya diskriminasi. Nilai kebenaran dalam pandangan ini berkonotasi relatif, itu terjadi karena kondisi manusia dengan segala kemampuan, pemikiran, dan perasaaan bersifat fluktuatif serta berubah-ubah. Ada banyak hal yang mengindikasikan kemampuan tersebut, selain faktor kognisi manusia, faktor sosial dan lingkungan cukup banyak memengaruhi kondisi manusia dalam memutuskan sesuatu.
Hakikat manusia sebagai makhluk eksistensial adalah mencari kebenaran dan mungkin pembenaran atas hasil pemikiran dan perasaan mereka. Dalam upaya itu, manusia tidak bisa berdiri sendiri dan memerlukan bantuan orang lain sebagai bentuk validasi maupun afirmasi. Untuk itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Meskipun pada sekarang ini kita membagi manusia ke dalam introvert dan ekstrovert, yang mana memperlihatkan perbedaan kecenderungan dalam bersosialisasi. Setidaknya manusia itu sendiri memerlukan satu orang yang memberikan rasa validasi kepadanya. Utamanya dari lingkungan terdekat mereka. Seperti halnya alat elektronik, manusia perlu di charge dengan caranya masing-masing. Bagi kalangan introvert menikmati kesendirian adalah waktu yang sangat berarti, sebaliknya bagi kelompok ekstrovert mereka sangat haus untuk bertemu dengan orang lain. Lebih dari itu, bagi mereka yang mempunyai energi berlebih diberikan sebutan sebagai social butterfly.
Diantara banyaknya entitas maupun istilah dari hakikat yang melekat pada manusia dan kehidupan modern sekarang ini, tujuan dari manusia itu masihlah sama. Menemukan nilai kebenaran yang sesungguhnya. Hanya saja sekarang ini kita perlu meluaskan pemikiran dan tidak dengan cepat mengasumsikan sesuatu. Makna yang kita asumsikan itu bisa saja menjadi bias, karena sudah terlalu banyak hal yang saling bersinggungan dan menggeserkan makna itu sendiri. Sehingga kebenaran dan pembenaraan tidak bisa dibedakan hanya dengan melihat sekali tanpa adanya kontemplasi dan renungan. Untuk itu kita perlu menggunakan nila-nilai dasar berpikir seperti dari sisi ontologi yang mana adalah tentang hakikat dari hidup serta landasan aksiologi yang berisikan nilai terutama dari sisi etika.
Manusia akan kembali pada nilai-nilai kebaikan universal, seburuk apapun mereka berprilaku. Mereka tetap memastikan bahwa nilai kebenaran itu adalah hakikat sesungguhnya yang menjadi landasan semua cara berpikir. Bahkan jika tidak ada Tuhan dan nilai-nilai dalam ajarannya, kebenaran itu adalah hal yang paling benar.