Fenomena “Sakit” di Zaman Modern
Interpretasi kata “sakit” itu bersifat subjektif dan dapat berbeda-beda tergantung dari konteksnya. Secara umum, “sakit” mengacu pada perasaan tidak nyaman atau penderitaan dalam tubuh atau pikiran seseorang. Maka, sangat penting untuk memperlakukan persoalan sakit tersebut dengan serius, baik itu sakit secara fisik, emosional, psikologis, sosial, maupun spiritual, dan mencari bantuan jika diperlukan untuk mengatasi penderitaan tersebut.
Dewasa sekarang ini kerap diidentikkan dengan istilah ‚sakit modern‘ yang merujuk pada konteks gangguan sakit secara psikologis. “Penyakit psikologi modern” tersebut adalah istilah yang digunakan secara informal untuk mengacu kepada berbagai gangguan kesehatan mental atau masalah psikologis yang terjadi dalam masyarakat modern. Gangguan ini meliputi kecemasan atau anxiety disorder (GAD), boddy image issues yang menekankan pada kecantikan seseorang, stres dan burnout yang merupakan kondisi dimana kita merasa kelelahan secara emosi maupun fisik karena tuntutan ataupun persaingan seperti halnya di tempat kerja
Gangguan lainnya dapat berupa insomnia atau sleep apnea. Sleep apnea adalah kondisi yang terjadi saat pernapasan seseorang terganggu dengan adanya periode henti napas secara berulang pada saat tidur. Kondisi ini menyebabkan otak dan bagian tubuh lain tidak mendapatkan asupan oksigen yang cukup.
Selain itu, terdapat gangguan-gangguan lain seperti gangguan kecemasan sosial (social anxiety disorder) panik (panic disorder), fobia-spesifik, kecemasan penyakit (illness anxiety disorder), hingga gangguan pada kecanduan dunia maya/digital. Serta hal yang sedah trend sekarang ini adalah Narcisstic Personality Disorder (NPD) yang merupakan gangguan mental yang ditandai oleh pola ‘perilaku yang berlebihan’ dalam kebutuhan terhadap pengakuan, keunggulan, dan perhatian diri sendiri. Biasanya, orang dengan gejala NPD cenderung memiliki harga diri yang sangat tinggi, merasa lebih penting dari orang lain, dan kurang empati terhadap perasaan orang lain. Mereka mungkin memperlihatkan perilaku manipulatif, sombong, dan kecemburuan yang tidak sehat. Meskipun setiap individu memiliki sifat narsisnya dalam kategori dan tingkatan tertentu, perilaku narsisme yang berlebihan dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, terutama dalam hubungan sosial dengan masyarakat luas.
Dalam konteks lain, perilaku NPD ini berkaitan dengan perilaku superior. Menurut Alfred Adler, seorang psikolog Austria, konsep superioritas atau merasa unggul tidak hanya tentang dominasi atau kekuatan atas orang lain. Superiotas ini berawal dari kecenderungan secara inferior, yakni perasaan-perasaan yang muncul sebagai akibat kekurangan psikologis atau sosial yang dirasakan secara subjektif. Namun, sisi superioritas ini dapat dilihat secara positif untuk mengetahui potensi diri yang sebenarnya.
Adler kemudian membedakan antara “keunggulan semu” dan “keunggulan sejati”. Keunggulan semu adalah ketika seseorang mencari keunggulan atas orang lain tanpa memperhatikan kesejahteraan orang lain atau tujuan yang lebih besar. Sebaliknya, keunggulan sejati adalah ketika seseorang menggunakan potensi mereka untuk memberikan kontribusi positif bagi orang lain dan masyarakat secara keseluruhan. Adler menganggap bahwa pencapaian sejati terletak pada kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial dan mengembangkan hubungan yang sehat dengan orang lain.
Kata narsistik pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud, yang mencontohkan perilaku dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos atau dalam bahasa Latin: Narcissus. Narcissus sangat kagum terhadap dirinya sendiri setelah melihat bayangan wajahnya di permukaan air tenang dalam hutan. Dalam kehidupannya, Narcissus selalu berupaya menjalin hubungan dengan seseorang namun selalu gagal karena belum ada yang dikagumi melebihi dirinya. Akhirnya ia putus asa dan bunuh diri karena tidak bisa memenuhi keinginannya untuk menjalin cinta dengan orang yang memiliki kelebihan dari dirinya.
Ahli psikoanalisis berasumsi bahwa gangguan kepribadian narsistik merupakan produk dari sistem nilai masa kini yang menjelaskan bahwa gangguan narsistik terjadi akibat adanya kegagalan dalam mengembangkan harga diri yang sehat. Meskipun begitu, ada banyak faktor yang memengaruhi perilaku narsistik ini diantaranya faktor neurobiologi, yaitu sistem neuron setiap individu yang menghubungkan antara otak dan pola pikir. Faktor ini sangat dipengaruhi oleh fungsi kognitif individu. Faktor lainnya adalah individu itu memiliki riwayat NPD. Faktor lingkungan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, emosional, dan karakteristik individu. Serta pengalaman trauma di masa lalu, seperti penderitaan atau kesedihan yang terjadi dialaminya yang mengakibatkan kehilangan, kekecewaan, atau memberikan dampak stres emosional.
Istilah-istilah di atas dapat terjadi karena didasari oleh hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk eksistensial serta sifat manusia yang tidak selalu merasa puas ataupun bisa jadi dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang memberikan dampak secara psikologis itu sendiri. Penyakit-penyakit ‚modern‘ ini bisa saja sudah ada ratusan abad silam. Perilaku manusia yang memiliki polanya tersendiri dan bersifat dinamis memberikan kecenderungan serta perspektif baru yang kemudian di-istilahkan. Sehingga, sekarang ini kita mengenal istilah di atas ataupun istilah lainnya, seperti introvert/ekstrovert yang memiliki substansi dan harfiah lebih luas lagi. Terdapat pula istilah toxic ataupun toxic positivity yang berkonotasi negatif. Ada juga konteks red flag dan green flag, gaslightig, playing victim, FOMO, YOLO ataupun istilah lainnya yang sangat popular di kalangan milenial dan gen Z.
Faktor yang dinilai memperkenalkan istilah tersebut ialah teknologi. Tanpa disadari ataupun tidak teknologi yang semakin hari ‘merasuki’ hidup manusia ini berdampak luas terhadap segala aspek kehidupan ini. Beberapa jurnal ilmiah yang membahasa tentang pengaruh teknologi terhadap psikologis manusia: “The Impact of Technology on the Developing Child” yang ditulis Cris Rowan. Jurnal ini membahas dampak penggunaan teknologi modern pada perkembangan anak, termasuk dampaknya terhadap aspek psikologis seperti perilaku, kognisi, dan emosi. “The Influence of Social Media on Adolescents’ Self-Esteem” oleh Diana E. Cellini dkk. Jurnal ini menyelidiki hubungan antara penggunaan media sosial dan tingkat harga diri pada remaja, dengan fokus pada bagaimana media sosial dapat memengaruhi persepsi diri dan evaluasi diri. “Psychological Effects of Internet Use in Older Adults: A Review” oleh Charles C. H. Lai dkk. Jurnal ini mengeksplorasi dampak penggunaan internet pada orang dewasa yang lebih tua, termasuk dampaknya terhadap kesejahteraan psikologis, kesehatan mental, dan kualitas hidup. “The Impact of Technology on Mental Health: A Lifespan Perspective” oleh Amy L. Gonzales dkk. Jurnal ini menyajikan tinjauan tentang bagaimana penggunaan teknologi, seperti media sosial dan permainan video, dapat mempengaruhi kesehatan mental individu dari berbagai tahap kehidupan. “The Psychological Impact of Virtual Reality: A Review” oleh Anna Vallgårda dkk. Jurnal ini membahas dampak psikologis dari penggunaan realitas virtual (VR), termasuk bagaimana VR dapat mempengaruhi persepsi diri, emosi, dan interaksi sosial.
Pengaruh teknologi tersebut secara tidak langsung memberikan „jalan pintas“ untuk kita menjustifikasi permasalahan sosial yang sedang kita hadapi. Cara“learning by googling” adalah salah satu hal yang umum disadari untuk kemudian kita menilai permasalahan psikologis hanya berdasarkan asumsi singkat dari bacaan pada mesin pencarian google saja, yang bisa saja kredibilitas sumber bacaan itu dipertanyakan.
Judgment pada permasalahan psikologis itu bergantung pada lingkungan sekitar kita. Ada beragama manusia dengan karakternya masing-masing yang berada di sekeliling kita, termasuk dalam menilai kita berdasarkan bingkai luarnya saja. Namun penilaian itupun bisa saja subjektif dan tidak objektf serta hanya berasaskan emosi sesaat saja.
Dalam pemikiran lainnya, Alfred Adler mengembangkan teori prinsip tenggang rasa. Prinsip tenggang rasa adalah ide bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menemukan keseimbangan antara kebutuhan individu dan kebutuhan sosial. Adler percaya bahwa individu memiliki dorongan bawaan untuk mencapai tujuan pribadi mereka, namun, dalam proses mencapai tujuan tersebut, mereka juga harus memperhitungkan kebutuhan dan kepentingan orang lain. Ini berarti bahwa seseorang harus mengembangkan empati dan kesadaran sosial, serta memahami dampak tindakan mereka terhadap orang lain. Adler menekankan pentingnya kolaborasi, kerjasama, dan hubungan antarpribadi yang sehat dalam mencapai kebahagiaan dan kesuksesan. Prinsip ini menekankan bahwa keberhasilan individu tidak hanya bergantung pada pencapaian pribadi, tetapi juga pada kemampuan untuk membangun hubungan yang positif dengan orang lain.
“Everyone wanna be happy, but happiness just belongs to someone who fight for.”