Jodoh itu di akhir bukan di awal

Ikmal Trianto
6 min readAug 12, 2024

--

Ilustrasi: Freepik

„Bagaimana jika jodohmu itu adalah kematian?”

“Kalau orang cerai, jodohnya itu siapa dan gimana?”

Tentang siapa yang akan jadi jodoh kita, bagaimana cara dipertemukan dan pertanyaan kontekstual lainnya yang mengarah pada jawaban-jawaban semu merupakan bagian dari jalan hidup tiap-tiap manusia yang tentu penuh pengharapan dalam langkah hidupnya. Semakin kita memikirkan pertanyaan filosofis semacam itu, semakin kita meleburkan kalkulasi logika dan rasa yang tak akan pernah menjumpai ujung jawabannya.

Memaknai arti “jodoh” itu sangatlah kompleks, tergantung pada konteks budaya, agama, dan pengalaman pribadi untuk tahu makna literalnya. Jodoh identic dengan seseorang yang menjadi pasangan hidup dan bagian dari takdir yang tertulis dalam ketentuan Tuhan. Dalam pandangan agama danbudaya, pertemuan dan perjodohan sering dianggap sebagai hasil dari takdir atau kehendak ilahi.

Dari sudut pandang psikologis, jodoh bisa diartikan sebagai pasangan yang memiliki kompatibilitas emosional, intelektual, dan fisik yang baik. Jodoh dalam konteks ini adalah seseorang yang dapat saling memahami, mendukung, dan melengkapi satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan.

Dr. Tara Swart, seorang ahli Neurosains dari Amerika menyebutkan „Tubuh manusia mengeluarkan tingkat stres hormon yang bisa menarik tingkat stres hormon serupa secara natural.” Mungkin kita sering dengar jodoh kita adalah cerminan diri ataupun berandai memiliki jodoh yang satu frekuensi. Dalam pemahaman ini, konteks satu frekuensi dapat berarti kesamaan tingkat hormon stress. Jika kita merasa senang ataupun sebaliknya dan semesta seolah mendukung keberadaan diri dalam situasi itu seperti halnya law of attraction, mengartikan bahwa diri kita ini memberikan sinyal positif maupun negatif terhadap orang-orang dan lingkungan sekitar kita.

Namun, jodoh itu tidak hanya selalu tentang pasangan hidup ataupun suami/istri yang ideal. Jodoh dapat merujuk pada teman, sahabat, karir, lingkungan, aktivitas, serta sesuatu yang diterima manusia sebagai bagian ‚rezeki‘ dan memberikan pandangan tentang perjalanan yang sudah ‚menemukan‘ jalannya. Jodoh merujuk pada kesesuaian yang mendalam dan harmoni antara seseorang dengan elemen tertentu dalam hidup mereka, bukan hanya dalam hubungan romantis.

Apakah manusia akan selalu bertemu jodohnya?

Pertanyaan apakah manusia akan selalu bertemu jodohnya memiliki jawaban yang kompleks dan tergantung pada berbagai faktor, termasuk pandangan filosofis, spiritual, dan pengalaman hidup seseorang. Banyak tradisi spiritual dan agama percaya bahwa setiap orang memiliki jodoh yang sudah ditentukan oleh takdir atau Tuhan. Dalam pandangan ini, pertemuan dengan jodoh adalah sesuatu yang pasti terjadi pada waktunya, meskipun mungkin tidak selalu dalam bentuk yang diharapkan.

Dari sudut pandang psikologis, menemukan jodoh lebih bergantung pada usaha, kesiapan emosional, dan keterbukaan untuk menjalin hubungan. Beberapa orang mungkin tidak bertemu dengan jodoh mereka karena berbagai alasan seperti trauma masa lalu, kurangnya kesempatan, atau ketidakmampuan untuk membuka diri terhadap hubungan baru. Hal ini mungkin berarti menemukan jodoh itu tergantung pada pilihan kita untu menjemput atau tidaknya. Jika tidak menemukan, bisa saja itu adalah jodoh kita ini. Dalam beberapa kasus, pertemuan dengan jodoh bisa dianggap sebagai hasil dari kebetulan dan keberuntungan. Beberapa orang mungkin bertemu dengan pasangan yang sempurna secara tidak sengaja, sementara yang lain mungkin membutuhkan lebih banyak usaha dan waktu. Seperti kata pepatah „jodoh itu jorok atau acak.“

Bagaimana jika jodohnya adalah kematian?

Pemikiran bahwa “jodoh” bisa berupa kematian adalah konsep yang lebih filosofis. Ini merujuk pada gagasan bahwa kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan bahwa setiap orang pada akhirnya akan menemui kematiannya. Kematian adalah satu-satunya kepastian dalam hidup yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup. Menghadapi kenyataan ini bisa membantu seseorang untuk menerima kematian dengan lebih tenang dan tanpa rasa takut, melihatnya sebagai “jodoh” yang pasti datang.

Dalam filsafat, kematian sering dipandang sebagai bagian dari siklus kehidupan yang alami dan tak terhindarkan. Beberapa filosofi menekankan bahwa kematian memberikan makna pada kehidupan, mendorong manusia untuk hidup dengan lebih penuh dan menghargai setiap momen yang mereka miliki.

Banyak agama dan tradisi spiritual memandang kematian sebagai transisi menuju kehidupan setelah mati atau reinkarnasi. Dalam konteks ini, kematian bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru. Pertemuan dengan kematian bisa dianggap sebagai bagian dari rencana ilahi atau takdir yang sudah ditentukan.

Memikirkan kematian sebagai jodoh bisa mendorong refleksi mendalam tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya. Ini bisa menjadi pengingat untuk hidup dengan lebih bermakna, menjaga hubungan baik dengan orang lain, dan mencapai tujuan-tujuan yang penting bagi mereka. Pada akhirnya, bagaimana seseorang memahami konsep ini sangat tergantung pada pandangan pribadi mereka tentang kehidupan, kematian, dan makna yang mereka berikan pada eksistensi mereka.

Lalu bagaimana dengan seorang laki-laki yang menikah lagi atau berpoligami dan punya istri lebih dari satu, siapa jodohnya?

Dalam Islam, poligami diizinkan dengan syarat-syarat tertentu, seperti kemampuan untuk berlaku adil terhadap semua istri. Dalam konteks ini, jodoh bisa diartikan bahwa masing-masing istri adalah bagian dari takdir dan rencana Allah untuk laki-laki tersebut. Setiap istri dianggap sebagai jodoh yang telah ditetapkan oleh Allah, dan laki-laki tersebut bertanggung jawab untuk memperlakukan mereka dengan adil dan baik. Namun, sekali lagi, pemahaman ini tidak dapat digeneralisasikan. Perlu sebuah pemahaman yang lebih mendalam lagi berkaitan dengan konsep yang ada.

Dalam agama-agama lain yang tidak mengizinkan atau tidak mengatur poligami, pernikahan kembali atau memiliki lebih dari satu istri mungkin dipandang berbeda, dan konsep jodoh biasanya diartikan sebagai satu pasangan hidup yang ideal. Dalam konteks budaya, poligami adalah praktik yang diterima dan diatur oleh norma-norma sosial.

Namun, konsep ini mungkin akan membiaskan subjektifitas jodoh ataupun makna cinta. Jodoh identitk dengan idealitas tidak hanya fleksibilitas dalam memaknai arti kata cinta itu sendiri. Pemahaman tentang siapa jodoh ini akan sangat bergantung pada interpretasi masing-masing individu.

Bagaimana dengan orang yang bercerai? Siapa jodohnya?

Jika jodoh adalah bagian takdir, maka mungkin perceraian adalah bagian dari jalan hidupnya. Mantan pasangan mungkin dianggap sebagai jodoh pada satu titik dalam kehidupan, tetapi perubahan dalam takdir menyebabkan perpisahan. Mungkin ada keyakinan bahwa ada jodoh lain yang akan ditemui di masa depan. Secara psikologis, hubungan bisa berakhir karena perubahan dalam kompatibilitas emosional, intelektual, atau fisik. Hakikat manusia sebagai makhluk yang dinamis akan selalu berubah-ubah, termasuk idealitas terhadap pasangan itu sendiri. Untuk itu ‚bercerai‘ adalah sebuah pilihan yang dapat diambil dengan konsekuensi yang sudah disadari sebelumnya.

Perceraian mungkin dilihat dengan stigma atau penilaian tertentu. Namun, semakin banyak masyarakat yang menerima perceraian sebagai bagian normal dari kehidupan, ataupun ‚pembenaran‘ Dalam konteks ini, konsep jodoh bisa disesuaikan dengan kenyataan bahwa tidak semua hubungan akan bertahan selamanya, dan itu adalah bagian dari dinamika kehidupan. Setelah bercerai, seseorang mungkin mengubah pandangannya tentang apa itu jodoh. Mantan pasangan mungkin tetap dianggap sebagai bagian penting dari hidup mereka, meskipun hubungan itu berakhir. Pada saat yang sama, seseorang mungkin terbuka untuk menemukan jodoh baru yang lebih cocok dengan fase kehidupan mereka saat ini. Pada akhirnya, jodoh mungkin tidak lagi dipandang sebagai pasangan, tetapi lebih sebagai jalan menuju kebahagiaan dan pemenuhan diri.

Bagaimana manusia mencapai jodohnya?

Mencapai jodoh adalah perjalanan yang kompleks dan unik bagi setiap individu. Ini melibatkan berbagai faktor seperti kesiapan pribadi, usaha aktif, dan terkadang keberuntungan. Kita mesti mamantaskan diri secara kesiapan emosional, pemikiran, komunikasi dan menumbuhkan nilai-nilai individu dan sosial yang dapat memberikan kelayakan tersendiri sampai akhirnya kita berada di waktu yang sudah digariskan Tuhan untuk bertemua dengan jodoh kita itu. Mencapai jodoh adalah proses yang memerlukan waktu. Jangan terburu-buru dan biarkan hubungan berkembang secara alami dan tidak membiarkan obsesi diri untuk menemukan pasangan ideal berada di awal pemikiran. Mungkin saja jika kita dalam pemikiran itu, kita hanya akan menuntut pada pasangan kita nantinya dan tidak bertumbuh dan berkembang bersama dengan pasangan kita nanti.

Menemukan jodoh adalah bagian dari kompleksitas dan penghadapan pada babak selanjutnya. Bersikaplah terbuka terhadap perubahan dan fleksibel dalam menghadapi tantangan yang mungkin muncul dalam perjalanan mencari jodoh. Gunakan pengalaman kita untuk memahami lebih baik apa yang Anda inginkan dan butuhkan dalam pasangan. Jodoh itu bukan hanya tentang satu orang, melainkan tentang dua hal atau dua orang yang saling melengkapi satu sama lainnya.

--

--

No responses yet