Ketika Dianggap Sebagai Orang Liberal
Dalam suatu diskusi dengan seorang teman yang cukup “agamis”, di akhir percakapan kami lantas beliau menyebut saya sebagai orang yang memiliki pemahaman yang sudah terkontaminasi dengan paham liberal. Sebetulnya disitu saya ingin menjelaskan banyak hal terkait perspektif yang saya pahami ini. Beliau menyebutkan secara halus, kontekstual yang saya punyai adalah bentuk tolerasi terhadap banyak hal yang sebenarnya agama tidak membenarkan itu. Namun, karena keterbatasan waktu diskusi kami saya belum sempat memberikan sedikit „klarifikasi“ atas pernyataan yang beliau sampaikan.
Paham liberal merupakan pandangan filosofis yang menitikberatkan pada kebebasan individu dalam kehidupan bermasyarakat. Maka pemahaman tersebut memberikan sisi relativitas pada nilai perilaku manusia secara umum, dalam berpikir dan menentukan hak-hak asasi mereka. Dalam menilai sebuah objek, etika dalam paham liberal ini tidak menilai tentang yang salah dan yang benar. Hal itu terjadi karena setiap individu memiliki keleluasaan dibalik wujud hak mereka.
Kebebasan dalam berekspresi sekarang ini dipahami sebagai bentuk “open minded” oleh banyak orang. Dengan segala keterbatasan dan pemahaman yang saya miliki, saya menganggap bahwa open minded kini telah disalahartikan serta menjadi sebuah pembenaran atas ketidakmampuan orang-orang tersebut dalam menggunakan logikanya dan melihat sebuah kebenaran yang mutlak.
Pernah saya berdiskusi dengan seorang teman yang memiliki kecenderungan LGBT, beliau beralasan memilih jalan tersebut adalah suatu tindak ekspresif. Namun yang saya anggap salah dan sedikit lucu adalah pada postingan di laman media sosialnya, beliau meminta kepada Tuhan untuk memberikan jodoh “sesama jenisnya” dengan cara-cara yang sudah sangat bertentangan dengan agamanya itu sendiri. Lalu saya memberikan sedikit gambaran tentang apa itu open minded yang sebetulnya adalah kemampuan berpikir secara terbuka terhadap semua ide, gagasan, dan perspektif setiap orang yang memiliki perbedaan-perbedaan cara berpikir. Bukan menerima segala bentuk perbedaan yang didasari hanya karena nafsu saja. Open minded itu sendiri berarti menerima bentuk budaya baru, dengan tidak menganggu apa sisi keyakinan dari apa yang kita punyai. Jika bentuk keyakinan itu merusak nilai norma dan norma agama dan menganggu keimanan kita, kita tentu perlu mengevaluasi diri kita bukannya mempertanyakan konteks agamanya. Norma agama bagi saya adalah kebenaran yang mutlak. Bukankah arti agama itu secara etimologi bermakna tidak kacau? Justru nilai dalam agama dan norma sosial masyarakat adalah sekelompok hukum yang mengikat dan mengatur kehidupan manusia ini. Silahkan saja coba hidup tanpa ada yang mengatur, kebebasan itu akan kacau.
Banyak orang yang mengamini paham liberalisme ini karena manusia memerlukan bentuk kebebasan dan mendasari bahwa manusia memiliki kehendak tersendiri sebagai bagian dari hak manusiawi. Sejarah juga mencatat bahwa pemahaman liberalisme ini dijadikan untuk membentuk pemerintahan yang bersifat terbuka dan mengedepankan persamaan hak dan kebebasan berbicara yang sama dan gagasan tentang pemerintahan mencakup kritik sosial. Liberalisme lahir dan menjadi sebuah produk untuk menentang pemikiran konservatif. Jika liberalisme itu suatu pemahaman baru, maka orang-orang yang tidak memiliki pemikiran terbuka disebut sebagai orang kuno, karena mereka tidak mau menerima kebaharuan yang ada. Terutama dengan adanya globalisasi yang berkembang sejak pergantian milenium ini, membawa pemahaman-pemahaman terhadap setiap individu untuk berekspresi.
Hal paling menarik adalah ketika saya sempat berdiskusi dengan orang Yahudi di suatu tempat di Jakarta. Saat itu pertemuan tidak sengaja dan secara tiba-tiba kami berbicara banyak hal, termasuk isu keyakinan dan modernisasi zaman. Saya mengatakan bahwa saya senang sekali bercerita, termasuk belajar dari orang-orang yang tidak biasa seperti orang atheis dan agnostik. Sampai tiba pada kesimpulan bahwa beliau berkata bahwa saya orang yang toleran bukan liberal. Tentu itu menjadi sebuah justifikasi yang berbeda dengan penilaian teman saya tadi.
Saya pernah bekerja di lingkungan katholik dan berteman baik dengan mereka, orang tua dan keluarga saya pun sangat khawatir akan hal itu memberikan pengaruh terhadap keyakinan saya. Namun hal itu justru menjadi terbalik, saya semakin memantapkan keyakinan yang saya pahami. Dan sayapun seringkali menanyakan hal-hal yang sebenarnya ingin saya ketahui sebagai sumber pelajaran untuk memperkaya wawasan saya. Kami justru sangat menghargai satu sama lain. Pun ketika saya bertemu dengan beragam orang yang memiliki pandangan tersendiri diluar orang-orang mayoritas lain. Jika dikatakan bahwa saya ini liberal, itu silahkan saja karena setiap orang memiliki hak untuk berpendapat. Dalam hemat saya ini, saya hanya berusaha masuk pada perspektif di mana orang berpendapat berdasarkan apa yang mereka yakini. Saya tidak pernah untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Saya hanya mencoba untuk menyampaikan nilai kebenaran dari apa yang saya pahami dan saya yakini. Tentu saya pun menyadari bahwa saya manusia yang sangat berkekurangan, terutama akan pengetahuan agama dan dunia.