Memahami Makna Fitrah

Ikmal Trianto
5 min readApr 6, 2024

--

Ilustrasi: Freepik

“Tujuan hidup kita adalah menjadi bahagia”

— Dalai Lama —

Momen Idul Fitri merupakan hari yang sangat dinantikan oleh semua umat manusia, tidak hanya khusus bagi umat muslim. Namun juga perayaan dan kesenangan momen ini turut dirasakan kebahagiaannya bagi kalangan non-muslim. Idul Fitri kerap dianalogikan sebagai hari kelahiran seseorang yang kembali suci dan bersih layaknya seorang bayi. Kewajiban umat muslim berpuasa satu bulan lamanya merupakan bentuk perjuangan mensucikan diri untuk kembali pada fitrahnya. Fitrah sendiri bermakna asal kejadian, kesucian dan agama yang benar. Kata ini berdenotasi dengan kata ‚ibda‘ dan ‚khalq‘. Fitrah itu sendiri bebas dari noda dan dosa. Sebagaimana analogi seorang bayi yang terlahir dari rahim ibunya dalam keadaan suci.

Ahli tafsir, Imam Al-Qurtubi menjelaskan makna fitrah itu adalah kesucian jiwa dan rohani. Fitrah itu sendiri merupakan ketetapan Allah pada manusia. Sementara itu, Ibnu Katsir mengartikan makna fitrah dengan mengakui ke-Esaan Allah atau tauhid. Manusia sejak lahir membawa tauhid atau kecenderungan untuk mengeesakan Tuhan (monoteisme) dan berusaha untuk mencapai tauhid tersebut sebagaimana makna dalam QS Ar-Rum: 30 yang berbunyi “Tetaplah atas fitrah (penciptaan) Allah yang telah menciptakaan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut)”.

Manusia sendiri disebut sebagai makhluk yang sempurna, karena Allah menciptakan manusia dalam bentuk terbaik (QS At-Tin:4). Al-Maraghi menyebut bahwa fitrah mengandung arti kecenderungan untuk menerima kebenaran. Prinsip ini sejalan sebagai manusia dengan perananan makhluk eksistensial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna fitra berarti sifat asal. Sifat-sifat manusia itu terbagi menjadi dua yaitu sifat mahmudah (sifat terpuji) dan sifat madzmumah (sifat tercela). Seorang filsuf Yahudi, Martin Buber, berpendapat bahwa manusia tidak dapat dikatakan pada dasarnya dosa dan dalam genggaman dosa, melainkan manusia merupakan suatu keberadaan (eksistensi) yang berpotensi. Potensi manusia itu terbatas secara faktual, bukan esensial. Perkembangan manusia tidak dapat diramalkan, dan menjadi pusat ketakterdugaan dunia. Manusia tidak pada dasarnya baik atau jahat, tetapi mengandung kemungkinan secara kuat untuk baik atau jahat.

Salah satu fitrah yang diberikan pada manusia adalah fithrah nafs yang menjadi bagian aspek psiko-fisik manusia. Aspek ini merupakan paduan integral (totalitas manusia) antara fithrah jasmani (biologis) dengan fithrah ruhani (psikologis), sehingga dinamakan psiko-fisik. Fitrah ini memiliki tiga komponen pokok, yaitu: kalbu, akal, dan nafsu yang saling berinteraksi dan mewujud dalam bentuk kepribadian serta memberikan perspektif kecenderungan pada manusia dalam menentukan yang benar dan salah. Hanya saja, ada salah satu yang lebih dominan dari ketiganya. Fithrah ini diciptakan untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian Allah kepada manusia di alam arwah. Fithrah nafs merupakan anugerah yang diberikan khusus untuk manusia.

Pemberian fithrah nafs sifatnya masih dalam wujud potensi atau daya atau keinginan. Dengan potensi atau daya manusia itu mampu bertingkah laku dan berbuat sesuatu. Meskipun Allah telah menciptakan fithrah nafs bukan berarti Allah tidak berbuat ataupun tidak ikut andil dalam keseharian manusia. Dalam semua kegiatan dan keaktifan tingkah laku manusia sebenar-nya ada campur tangan dan kuasa Allah di dalamnya. Tanpa keaktifan-Nya itu, maka manusia termasuk seluruh alam ini, akan hancur dan rusak.

Sulit jika kemudian kita memercayai dengan logika semata tentang apa-apa yang sudah menjadi kuasa-Nya. Ataupun manusia itu sendiri akan mencari pembenaran atas ketidakmampuannya menghadapi situasi yang diberikan. Misalnya, jika manusia memercayai segala sesuatu ini telah Allah takdirkan, manusia itu tidak akan bergerak dan bermalas-malasan. Ataupun jika Allah telah menentukan kita untuk masuk ke dalam neraka ataupun surganya,maka nilai ibadah yang dilakukan hanyalah sia-sia. Premis-premis tersebut seringkali kita asumsikan sebagai ketidakberdayaan manusia terhadap ketetapan takdir. Takdir itu sendiri merupakan bagian dari qadar, yaitu takdir mubram , ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat diubah seperti kelahiran dan kematian. Kedua takdir mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang mungkin bisa diubah dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan doa. Berbeda dengan qada, qadar itu dapat berubah tergantung bagaimana kesungguhan kita dalam menjalankan keinginan, sampai Allah ‘mengubah’ jalannya. Sementara qada itu adalah ketetapan yang tidak dapat diubah lagi oleh makhluk-Nya.

Dalam QS Taha: 50 Allah berfirman: Dia (Musa) menjawab, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” Allah menerangkan dalam ayat ini jawaban Musa atas pertanyaan Firaun bahwa yang mengutus keduanya ialah Tuhan yang telah melengkapi makhluk yang diciptakannya dengan anggota tubuh sesuai dengan kepentingannya masing-masing, seperti mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, begitu juga tangan, kaki, hidung dan lain-lain anggota tubuh menurut fungsinya masing-masing sesuai dengan petunjuk dari Allah sebagaimana dalam QS An-Nahl: 78 “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur. Kemudian Allah-lah yang membimbing dengan memberinya fungsi anggota tersebut untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sejalan dengan ayat ini. Firman Allah dalam QS Asy-Syams: 7–8 “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”, serta dalam QS Al-Balad: 10 “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).”

Perbedaan manusia dengan makhluk lainnya adalah adanya kemampuan akal untuk berpikir dalam pengambilan setiap keputusan yang dilakukannya. Keinginan atau hasrat itu selalu mengarah pada rasa yang ingin dicapai melalui kepuasan setelah didapatinya. Bentuk itu adalah nilai mutlak yang mengakar daripada fitrah manusia. Penilaian benar atau salah bisa saja bersifat relatif menurut pandangan manusia. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban manusia yang mampu menjawab hal-hal yang bersifat dinamis dan kompleks, maka akan bermunculan asumsi-asumsi yang dapat menolak kebenaran mutlak itu sendiri, kebenaran yang berasal dari Tuhan. Hidup itu adalah sebuah makna dengan segala yang terjadi karena kuasa Tuhan.

Dalam beberapa pemikiran Kristen menyebut (Roma 8:28) “Dan kita tahu bahwa Tuhan membuat segala sesuatu bekerja sama demi kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan, bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan tujuan-Nya. Namun, berbeda dengan filsuf-filsuf lainnya yang memiliki pandangan tersendiri terkait makna dan tujuan dalam hidup, Albert Camus memandang kehidupan sebagai sesuatu yang gak memiliki makna dan tujuan. Sebagai muslim sangat jelas bahwa dalam QS Az- Zariyat 56: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk kebaikan-Ku sendiri. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan hidup mereka adalah beribadah kepada-Ku karena ibadah itu pasti bermanfaat bagi mereka.”

Pada filsafat Stoikisme disebutkan bagaimana cara untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup. Plato menyebutnya sebagai Eudhomania, artinya, kebahagiaan adalah keutamaan hidup. Bagi orang beragama, permasalahan adalah sesuatu yang memiliki nilai lebih dibaliknya. Puncak dari kebahagiaan itu adalah surga-Nya, yang hanya diberikan kepada mereka yang berserah diri dengan sebenar-benarnya. Bagi mereka yang kembali pada ‘fitrah’ dan mengenali hakikat manusia dengan baik, sehingga mereka menjalankan konsep berserah diri pada Tuhan itu dengan patuh. Prinsip utama Stoa kuno adalah keyakinan bahwa kita tidak bereaksi terhadap peristiwa. Hal yang penting adalah penilaian kita tentang mereka yang bergantung kepada diri sendiri. Dalam hal ini akal manusia itu sendiri yang difungsikan untuk merespons segala sesuatu yang terjadi di setiap pergerakan itu sendiri.

--

--

No responses yet