Memaknai “Punten” yang perlahan dihiraukan

Ikmal Trianto
4 min readJun 29, 2024

--

Ilustrasi: nursinganswer.net

„ Kenapa ya orang kalo dipuntenin sekarang malah cuek?“

„Duh, tau gitu gausah bilang ngomong punten.“

„Kenapa sih ngeliatin terus, tapi gak senyum atau bilang punten atau bilang apa kek gitu basa-basi.“

„Paling engga kalo papasan sopan dikitlah.”

Kalimat-kalimat di atas kerap kali saya dengar dari orang-orang terdekat dan saya sendiripun terkadang melontarkan kalimat itu ketika punten-saya tidak berbalas. Kita semua turut merasakan, khususnya bagi masyarakat Sunda yang tinggal diperkotaan bahwa kata punten kini tak lagi dianggap bermakna khusus. Punten kini hanya dianggap sebagai sebuah basa-basi semata. Orang-orang cenderung tidak merespons dengan berpura-pura tidak mendengar atau hanya sekadar melihat dengan tatapan yang datar.

Sasaran ini utamanya ditujukan pada kelompok generasi „modern“, yang tidak lagi mensakralkan kegiatan --untuk sekedar mengatakan permisi/punten-- ini. Keberadaan masyarakat modern kerap kali mendapat kritik terkait persoalan etika sosial. Berbeda dengan kelompok generasi-generasi sebelumnya, kelompok ini cenderung lebih skeptis serta pragmatis. Tentu kita tidak men-stereotipe-kan bahwa semua generasi ini berlaku sama. Sisi cuek semacam ini, sudah bersifat sporadis. Kontekstualisasi zaman memberikan unsur perubahan terhadap cara berpikir dan sikap manusia, utamanya dengan adanya teknologi yang mengubah manusia menjadi lebih direktif, tidak suka berbasa-basi, dan tak acuh dengan sesama.

Orang tua kita tentu akan menganalogikan „Anak-anak zaman sekarang begini …. begitu…. Beda kaya saya waktu zaman dulu“ dan ataupun bentuk komparasi lainnya. Mungkin saja generasi ini akan dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi Z oleh generasi milenial atau Y, dan milenial dibandingkan dengan gen X juga sebelumnya. Bahkan nantinya gen Alfa-pun akan jadi bahan perbandingan gen Z. Karakteristik setiap generasi yang berbeda-beda dengan cara berpikirnya masing-masing adalah nilai utama perbedaan pandangan terhadap etika yang ada.

Menelisik pada kata “punten” dalam bahasa Sunda yang tidak hanya sebagai kata, namun memiliki nilai filosofis dan budaya yang sangat penting. Secara harfiah, “punten” berarti “permisi” atau “maaf,” dan digunakan dalam konteks meminta izin atau permintaan maaf. Nilai filosofis dan budaya dari kata ini mencerminkan beberapa aspek kehidupan masyarakat Sunda berupa nilai kesopanan dan bentuk kerendahan hati. Penggunaan kata “punten” menunjukkan kesopanan dan rasa hormat kepada orang lain. Masyarakat Sunda sangat menjunjung tinggi tata krama dan etika dalam berinteraksi, dan kata ini menjadi salah satu bentuk ekspresi dari nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini konteks yang diutamakan adalah Soméah Hade ka Sémah, artinya ramah, bersikap baik, menjaga, menjamu dan membahagiakan setiap tamunya atau setiap orang meskipun belum dikenal. Dalam jurnal komunikasi, someah itu sendiri dapat menciptakan branding sebagai sebuah atribut atas cerminan budaya

Masyarakat Sunda hidup berdasarkan prinsip etika yang tinggi. Kata “punten” merupakan salah satu bentuk aplikasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan integritas dan moralitas individu dalam komunitas. Secara keseluruhan, penggunaan kata “punten” bukan sekadar ungkapan sehari-hari, tetapi juga mencerminkan pandangan hidup dan nilai-nilai budaya masyarakat Sunda yang kaya akan rasa hormat, kebersamaan, dan etika.

Dalam budaya Jawa, dikenal juga istilah nuwun sewu yang bermakna sama seperti punten. Nuwun sewu merupakan tradisi masyarakat Jawa yang masih dijunjung tinggi dan menjadi bagian identitas diri sebagai bentuk kearifan lokal. Nilai dalam istilah punten bagi masyarakat Sunda dan nuwun sewu bagi masyarakat Jawa adalah bentuk penghargaan dan penghormatan sesama yang sekarang ini secara perlahan tergeserkan oleh zaman.

Pakar sosiolog dan antropolog Prancis, Pierre Bourdieu, mengembangkan “Theory of Practice” (1972) atau teori praktik sosial yang mendalami peranan struktur sosial dan agen individu saling berinteraksi. Teori Bourdieu mencoba menjelaskan bagaimana kebiasaan, tindakan, dan struktur sosial tercipta dan dipertahankan dalam masyarakat. Bourdieu membagi praktik sosial merupakan hasil dari kecenderungan (habitus) dan modal (capital) dalam ranah masyarakat (field).

Theory of Practice - Pierre Bourdie (1972)

Budaya ‘punten’ ini merupakan bentuk kebiasaan yang diterapkan dalam pendidikan etika seseorang yang didapatinya dari pengalaman dan lingkungan sosial. Karakteristik dalam habitus ini diantaranya transposable, artinya mampu beradaptasi dengan situasi baru berdasarkan pengalaman sebelumnya. Pengaruh ini akan memberikan dampak bahwa individu ini akan tetap mengedepankan nilai etika atau tidaknya bergantung penilainnya terhadap sebuah konteks sosial. Modal atau capital diidentifikasikan Bourdieu pada beberapa bentuk yang menentukan posisi seseorang dalam masyarakat, baik itu secara ekonomi, budaya, sosial serta simbolik. Dalam hal ini strata sosial akan sangat berpengaruh bagi seseorang dalam bersikap. Pada istilah komponen sikap yang dijelaskan Katz (1960) terdapat unsur kognitif, afektif dan konatif.

Field atau ranah merupakan ruang sosial di mana individu atau kelompok berinteraksi, berkompetisi, dan berjuang untuk modal yang ada. Setiap ranah memiliki aturan mainnya sendiri dan bentuk modal yang dominan. Misalnya, ranah pendidikan berbeda dari ranah seni atau politik, baik dalam hal nilai yang dihargai maupun cara berkompetisi. Serta practice adalah hasil dari interaksi antara habitus, modal, dan field. Tindakan individu tidak sepenuhnya ditentukan oleh struktur sosial atau kebebasan individu/kelompok, tetapi oleh hubungan dialektis antara keduanya. Praktik mencerminkan strategi yang diambil oleh individu/kelompok ini untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi mereka dalam ranah.

“Punten” ini kemudian akan disikapi menjadi bagian pemahaman individu/kelompok itu sendiri. Istilah lainnya adalah kecenderungan individu untuk sekadar mengucapkan punten akan kembali pada putusan akhir yang menjadi branding bagi mereka dalam menunjukkan sikap yang ada.

--

--

No responses yet