Post-Millennial: Diantara Isu Kesehatan Mental dan Post-Truth

Ikmal Trianto
3 min readJul 17, 2024

--

Ilustrasi: Freepik

“Kapan nikah? Kapan beli rumah? Kapan punya mobil? Tuh liat si ini mah uda ini/ itu.”

Seringkali topik percakapan yang ramai diperbincangkan diantara kaum post milenial ialah tentang kehidupan pribadi dan sosial mereka yang sangat memengaruhi kehidupannya, baik secara langsung maupun tidak. Bentuk kekhawatiran kaum generalis terhadap topik-topik tersebut mencerminkan kompleksitas dunia modern yang sedang mereka hadapi. Mereka ini harus mampu menavigasi tantangan-tantangan dengan bijak, mencari keseimbangan dari dilematika diri maupun tekanan eksternal, yang akan berdampak pada kesehatan mentalnya. Sehingga isu pada kesehatan mental ini menjadi konsentrasi yang selalu disangkut-pautkan dengan tantangan yang mereka punyai.

Isu ini cukup familiar di kalangan kelompok milenial akhir atau post-milenial. Mereka adalah generasi milenial yang lahir di awal tahun 1990-an hingga 1996, yang secara tidak langsung bersinggungan dengan demografis kelahiran generasi Z. Milenial lahir di era berkembangnya teknologi, ekonomi dan budaya. Kekhawatiran mereka sering kali terfokus pada tiga area utama: karir, cinta, dan sosial.

Kekhawatiran pertama bagi generasi milenial akhir ini adalah karir. Mereka tumbuh dewasa di era resesi global dan pasar kerja yang kompetitif. Ketidakpastian ekonomi membuat banyak dari mereka merasa cemas tentang stabilitas pekerjaan dan prospek karir jangka panjang. Tantangan ini diperparah oleh perkembangan teknologi yang cepat, yang memaksa mereka untuk terus meng-upgrade keterampilan mereka agar tetap relevan di pasar kerja. Di samping itu, kelompok ini juga diperkarsai sebagai generasi sandwich, yakni mereka yang mendukung finansial keluarga.

Selain itu, budaya “hustle” yang mengharuskan mereka untuk selalu produktif dan bekerja keras juga menambah tekanan lebih. Banyak milenial akhir merasa terjebak dalam siklus kerja yang tiada henti, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental mereka. Mereka berjuang untuk menemukan keseimbangan antara bekerja keras untuk mencapai tujuan karir dan menjaga kesehatan mental. Mereka sangat berharap mampu berada di fase financial freedom di kemudian hari. Bahkan keputusan untuk ‘mengejar’ karir ini mengorbankan mereka untuk menunda untuk menikah.

Di tengah kesibukan karir, mencari dan mempertahankan hubungan cinta yang sehat menjadi tantangan tersendiri. Generasi milenial akhir sering kali merasa terjebak antara harapan akan hubungan jangka panjang dan realitas kehidupan modern yang serba cepat. Aplikasi kencan online yang tengah marak memperluas peluang untuk bertemu pasangan baru, tetapi juga memperkenalkan dinamika yang rumit dalam berkencan. Mungkin 10 tahun ke belakang, kita begitu asing dengan aplikasi-aplikasi kencan online tersebut. Namun, semua kini menjadi normal sebagai bagian dari era teknologi baru.

Tekanan sosial untuk menikah dan memiliki anak sebelum usia tertentu masih ada, meskipun norma ini semakin dipertanyakan. Banyak milenial akhir merasa terbebani oleh harapan ini, terutama jika mereka belum menemukan pasangan yang sesuai. Mereka juga lebih cenderung memprioritaskan stabilitas finansial dan karir sebelum memutuskan untuk berkomitmen dalam hubungan jangka panjang. Pertanyaan yang mungkin sering diterima dan ditanyakan seolah template dan buah dari basa-basi „Kapan ngundang?“, „Ga pengen nikah?“ „Uda ada calonnya belum?“ dan frasa-frasa pendek ilokusi lainnya.

Kehidupan sosial generasi milenial akhir juga tidak lepas dari dilematika zaman. Media sosial memberikan ruang untuk terhubung dengan teman dan keluarga, tetapi juga membawa tekanan untuk selalu tampil sempurna. Fenomena “fear of missing out” (FOMO) membuat mereka merasa harus selalu mengikuti tren terbaru dan tidak ketinggalan momen penting dalam hidup orang lain. Bisa saja beberapa menit berlalu Ketika kita meninggalkan gadget, banyak dinamika yang terjadi. Sehingga kita akan selalu ‘ditekan’ untuk berselancar di dunia maya.

Selain itu, mereka juga menghadapi tekanan untuk berkontribusi secara sosial pada era post-truth ini. Dalam era ini, emosi dan opini pribadi sering kali dianggap lebih penting daripada fakta objektif, telah mengubah cara kita memandang dan berinteraksi dengan informasi terutama di kalangan generasi modern. Era post-truth ditandai dengan prevalensi informasi yang menyesatkan, berita palsu, dan narasi yang dipolitisasi. Media sosial memiliki peranan besar dalam menyebarkan informasi ini dengan cepat dan luas. Algoritma media sosial cenderung memperkuat bias yang sudah ada, menciptakan “echo chambers” dimana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka.

Tantangan bagi kaum milenialis yang sangat aktif di laman-laman internet ini adalah memilihi secara objektif sumber informasi yang valid, karenanya beberapa penelitian menunjukkan bahwa saat ini kita sering kali kesulitan membedakan antara berita yang benar dan berita palsu. Tendensi sosial tersebut mengarahkan pada pembentukan karakter yang lebih skeptis terhadap kebenaran duniawi. Pun hal tersebut cukup memengaruhi kesehatan mental semua orang. Umum kita temukan ‚curhatan‘ dengan cemas, stres, dan kebingungan akibat disinformasi berita atau glorifikasi pada hal-hal yang notabene-nya konvensional.

--

--

No responses yet