Untuk Apa Bertahan Hidup, jika nantipun kau kan Mati?

Ikmal Trianto
4 min readDec 29, 2024

--

Ilustrasi: Freepik

Hidup merupakan rangkaian perjalanan yang akan selalu dipenuhi tanda tanya, bertanya dengan ketakutan apa yang terjadi esok hari, apakah akan ada keselamatan untuk kita, bagaimana nasib kita nanti dan kemudian nantinya. Ataupun pertanyaan tentang kesenangan yang kita dapati di hari-hari yang selalu kita nantikan. Ataupun juga pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan masa lalu, bagaimana bumi ini tercipta, mengapa kita menjadi manusia, siapa dan bagaimana rupa Tuhan itu sendiri serta pertanyaan retorika lainnya yang mungkin saja bisa membuat pikiran kita sampai sakit kepala untuk memikirkannya.

Ketika umur kita sudah pantas masuk usia sekolah, pikiran kita tidak hanya dibiarkan menikmati kesenangan dunia bermain. Tetapi disuapi beraneka ragam pilihan pengetahuan yang secara perlahan meluaskan pertanyaan abstrak kita menjadi lebih berdasar logika. Namun, seringkali kita terhalangi oleh kerangka berpikir dalam agama, yang tak perlu menanyakan apa dan kenapa. Memang kita cukuplah pada bentuk pemikiran percaya, tetapi penting juga bagi kita untuk tahu dan memberikan alasan percaya itu. Ketidakmampuan berpikir untuk menerima itu akan menggeserkan cara berpikir yang sudah dihegemonikan melalui media sosial. Liberal, sosialis, ateis, agnostic adalah kerangka pemikiran baru yang muncul dari apa dan kenapa yang mengedepankan asas berpikir berawal dari ketidakpuasan manusia atau nafsu manusiawi semata. Padahal dalam filsafat mengajarkan manusia untuk mampu menelaah sesuai dengan kaidah dan norma. Filsafat tidak mengajarkan manusia untuk berpikir mengasumsikan logika sebagai hasil akhir, tetapi menggunakan logika untuk mampu berpikir dan menangkap fenomena dan menerima sebagai suatu konsekuensi yang nyata.

Mempelajari agama tidak menjadikan jaminan manusia akan memahami dengan utuh dan memaknai begitu saja konsep-konsep yang sudah sepatutnya dipatuhi sebagai orang beragama. Banyak orang yang menggunakan agama sebagai alat untuk menjual ayat dan berlindung dibalik konsep yang mereka salah tempatkan. Sehingga nilai agama menjadi buruk di mata universal. Padahal agama adalah tatanan etika dan estika dengan nilai kebenaran yang paling tinggi dan sempura, kecacatan yang muncul terletak pada bagaimana manusia yang memahami agama itu berasumsi dan memaknai nilai pada agama yang mereka yakini. Agamapun sebelumnya sudah mewanti-wanti bahwa sepanjang hayat ini kita akan selalu belajar, bukan hanya membetulkan logika berpikir kita, tetapi memahami bagaimana konsep agama ini bekerja. Dalam perjalanan itu, akan ada dinamika yang tak pernah berhenti menggoda manusia dengan segala bentuknya.

Manusia perlu untuk memilih jalan hidupnya, menjadi apa dan seperti apa manusia itu nantinya. Jawabannya hanya ada pada manusia itu sendiri untuk memilih. Sebuah konsep sederhana menjelaskan kategori manusia itu, pertama orang bodoh adalah ia yang tidak bisa belajar dari kesalahannya dan terus mengulang kesalahan itu berulang kali. Kedua, orang pintar adalah ia yang belajar dari kesalahannya, sehingga di kemudian hari ia tak lagi mengulangi situasi yang sama lagi. Dan ketiga, orang bijak adalah ia yang belajar dari kesalahan orang lain, ia mampu menangkap makna yang ada pada pengalaman orang lain. Dari ketiga kategori itu, kita tentu akan berada di semua kategori yang ada, menjadi bodoh pintar dan kadangkala bijak. Manusia tidak bisa terlepas dari dua sisi yang menaikkan maupun menurunkan cara berpikir mereka yang terjebak dengan dosa ataupun menabung pahal atau dengan kata lainnya disebut sebagai iman.

Dinamika itulah yang mengantarkan kita pada pertanyaan-pertanyaan dengan dua kata tanya sebagian dari 5W + 1H. Hukum kausal sebab-akibat ialah konsep yang dapat menjadi landasan pertama manusia berpikir dengan tujuan untuk memahami makna yang ada. Ketika misalnya kita mempertanyakan masalah, menemui jawaban konkrit bukanlah suatu hal yang mudah. Menerima, mengikhlaskan sebagai bagian dari jalan hidup dan meyakini makna dibaliknya sangat bergantung pada kemampuan berpikir manusia dalam menelaah setiap bagian dari hal yang ia terima. Namun, yang harus kita yakini, masalah itu akan berhenti pada waktunya, meskipun kemudian akan muncul masalah-masalah di waktu dan sifat yang berbeda. Dan Kembali lagi, manusia punya kerangka untuk berpikir telah melewati masalah di satu fase, tapi rangka itu lantas tak berlaku lagi di fase selanjutnya. Hal yang perlu kita tanamkan mungkin menghargai masalah tidak hanya datang sebagai masalah, bisa saja masalah datang sebagai kebaikan bagi kita. Kebaikan? Lantas bagaimana kita tahu itu adalah kebaikan bergantung pada bagaimana kita menyikapi masalah itu sendiri. Untuk tahu itu, terkadang kita perlu menyelesaikan masalah terlebih dulu.

Hal lain yang penting kita garis bawahi, terkadang kita tidak perlu menyelesaikan semua masalah yang menimpa kita, bisa saja masalah itu akan selesai tanpa perlu kita atasi atau mungkin bisa saja kuasa semesta yang membantu kita menyelesaikan masalah kita dengan perantaranya. Ada masalah yang selesai dengan waktu, ada juga yang menjadi pijakan untuk kita bertumbuh menjadi lebih baik. Masalah itu adalah bagian dari belajar, bahwa tidak semua hal dalam hidup berada dalam kendali kita.

Dalam masalah itu mengarahkan kita pada garis akhir dengan satu tujuan yang sama, kematian. Kita hidup akan mati di kemudian hari. Sebelum mati ini, perjalanan yang seperti apa yang akan kita lakukan. Untuk hanya sekedar hidup tidaklah tentang cerita berkendara dengan tujuan kematian, bisa saja kendaraan yang kita tumpangi ini berbelok berhenti di tempat yang sama sekali kita inginkan dan tidak kita inginkan. Kematian memanglah bagian dari jalan hidup kita ini, namun bagaimana kita berkendara menuju kematian itu yang perlu kita jadikan sebagai refleksi.

“Lantas mengapa kita hidup jika kita akan mati?”

Kita perlu mengingat tentang mengapa kita ingin menjadi manusia dan berjanji dengan Tuhan untuk hidup sebagai manusia dengan segala keinginan dan keharusannya. Tanggung jawab itulah yang perlu kita selesaikan dan mengerti hakikat kita sebagai manusia.

“Hiduplah, dan teruslah hidup”.

--

--

No responses yet